Artikel ini akan dimulai dengan kisah Petapa-Sumedha ( Boddhisatta kita, yang kelak menjadi Buddha Gotama ) yang
bertemu dengan Buddha-Dipankara dan mendapatkan ramalan pasti dari
Beliau pada Empat Asankheyya-Kappa + 100.000 Maha-Kappa yang lampau.
Kemudian, artikel ini dilanjutkan dengan membahas beberapa kisah pilihan
dari Jataka ( kisah kehidupan lampau Sang Buddha Gotama ) yang berkaitan dengan penyempurnaan Dasa-Paramita yang dilakukan oleh Boddhisatta kita yang kelak menjadi Buddha-Gotama.
I. PETAPA SUMEDHA SANG BODDHISATTA ( CALON BUDDHA )
Empat Asankkheyya-Kappa + 100.000
Maha-Kappa yang sangat lama dimasa lampau telah berlalu, terdapat sebuah
kota yang makmur bernama Amaravati.
Sebuah kota yang sempurna dalam segala hal , indah dan menyenangkan.
Dikelilingi oleh pohon-pohon hijau dan taman yang indah, memiliki
persediaan makanan dan barang-barang kebutuhan yang cukup. Kaya akan
barang-barang berharga untuk dinikmati oleh masyarakatnya. Kota ini
menghangatkan hati para dewa dan manusia.
Di kota Amaravati ini hiduplah seorang Brahmana bernama Sumedha.
Ibunya adalah keturunan Brahmana dari keluarga Brahmana dari generasi
ke generasi, demikian pula dengan ayahnya. Sehingga ia adalah seorang
Brahmana murni karena kelahiran, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu..
Ia terlahir dari seorang ibu yang kaya-raya dan baik. Ia tidak dapat
dicemooh karena kelahirannya dengan mengatakan, “Orang ini lahir dari golongan rendah sampai tujuh generasi leluhurnya.”
Ia adalah orang yang tak dapat diremehkan atau dicela. Ia adalah
seorang dengan darah Brahmana murni dengan fisik yang menarik perhatian
setiap orang.
Sehubungan dengan kekayaannya : Ia
memiliki harta yang tersimpan dalam gudang harta dalam jumlah yang
sangat besar dan sejumlah besar hasil panen serta barang-barang
kebutuhan untuk hidup sehari-hari. Ia mempelajari tiga Kitab-Veda : Iru, Yaju,dan Sama. Menguasai kitab-kitab ini dan dapat menghafalnya tanpa cacat.
Orang tua Sumedha meninggal dunia
sewaktu ia masih sangat muda.Penjaga harta keluarga membawa daftar
harta, membuka gudang harta yang penuh dengan emas, perak, batu-delima,
mutiara, dan lain-lain dan memberitahukan pada Sumedha tentang kekayaan
yang diwarisinya dari tujuh generasi leluhurnya tersebut serta
menyerahkannya pada Sumdedha.
Setelah melalui perenungan yang mendalam, Sumedha memutuskan untuk meninggalkan keduniawian dan pergi hidup bertapa.
Sebelum pergi menjadi petapa, Sumedha melakukan Mahadana. Dengan tabuhan genderang besar, ia mengumumkan di seluruh kota Amaravati, “Kepada siapa pun yang menginginkan kekayaanku, silakan datang dan ambil.”
Dan ia mendanakan kekayaannya dalam suatu mahadana kepada semua orang
tanpa membedakan status miskin atau kaya. Setelah melakukan Mahadana,
Sumedha sang calon Buddha masa depan, melepaskan keduniawian dan pergi
menuju Pegunungan Himalaya dengan tujuan Gunung Dhammika pada hari itu
juga. Dewa Sakka melihat Sumedha mendekati pegunungan Himalaya,
memerintahkan dewa yang bernama Vissukamma untuk mempersiapkan sebuah
tempat tinggal bagi Sumedha yang nantinya digunakan Sumedha untuk
menetap sementara, karena akhirnya Sumedha memutuskan untuk meninggalkan
gubuk yang dipersiapkan Dewa Sakka dan anak buahnya tersebut, dan
memilih untuk tinggal di bawah pohon.
Setelah menemukan pohon yang sesuai
untuk didiami, Sumedha tinggal dibawah pohon tersebut. Sumedha hidup
hanya dari memakan buah-buahan yang jatuh dari pohon. Tanpa berbaring
sama sekali, ia berlatih meditasi terus-menerus tanpa putus hanya dalam
tiga postur : duduk, berdiri, dan berjalan, hingga pada hari ketujuh, ia
mencapai Delapan pencapaian tingkat Jhana ( Empat Rupa-Jhana dan Empat
Arupa-Jhana ) dan lima kekuatan batin tinggi ( Abhinna ).
Munculnya Buddha-Dipankara
Setelah petapa Sumedha berhasil dalam
pertapaan-Nya, mencapai delapan tingkat pencapaian Jhana dan lima
kekuatan batin tinggi seperti telah disebutkan sebelumnya, di dunia ini
muncul seorang Buddha yang bernama Dipankara, Raja dari Tri-Loka (
Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu ).
Disertai empat ratus ribu Arahanta,
Buddha-Dipankara mengunjungi kota Rammavati dan berdiam di Vihara
Sudassana. Sementara itu Sumedha sedang menikmati kebahagiaan Jhana di
dalam hutan dan sama sekali tidak mengetahui kemunculan Buddha-Dipankara
di dunia ini.
Mengetahui kedatangan Buddha Dipankara
di vihara Sudassana, penduduk Rammavati, setelah makan pagi, datang
membawa barang-barang untuk keperluan pengobatan seperti mentega, ghee,
dan lain-lain, juga bunga dan dupa untuk dipersembahkan kepada Buddha
Dipankara. Pada akhir khotbah tersebut, mereka mengundang Buddha beserta
murid-muridNya untuk makan keesokan harinya.
Sumedha Terbang di Angkasa
Esoknya penduduk Rammavati melakukan
persiapan seksama untuk melakukan dana besar-besaran ( asadisa-mahadana
). Sebuah paviliun dibangun, bunga teratai biru yang bersih dan lembut
bertebaran di dalam paviliun ; udara segar diberi wewangian empat jenis
pengharum, dan berbagai macam persiapan lainnya.
Ketika persiapan selesai dilakukan di
dalam kota, para penduduk mulai dengan pekerjaan memperbaiki jalan yang
akan dilalui Buddha untuk memasuki kota. Dengan tanah mereka menambal
lubang-lubang yang disebabkan oleh banjir dan meratakan tanah yang
berlumpur dan tidak rata. Mereka juga melapisi permukaan jalan dengan
pasir putih bagaikan mutiara, menebar bunga dan beras dan menanam pohon
pisang lengkap dengan tandan buahnya di sepanjang jalan itu.
Pada waktu itu, Sumedha Sang Petapa
meninggalkan pertapaanNya dan ketika ia melakukan perjalanan angkasa, ia
melihat penduduk Rammavati berkumpul dan bergembira dalam pekerjaan
memperbaiki dan menghias jalan. Merasa ingin tahu apa yang sedang
terjadi dibawah, ia turun dari angkasa dan berdiri sementara para
penduduk memperhatikannya
Kemudian Petapa Sumedha bertanya pada
penduduk, untuk apa mereka melakukan persiapan besar-besaran tersebut,
dan para penduduk menjawab, “Yang
Mulia Sumedha, telah muncul didunia Buddha Dipankara yang tiada
bandingnya, yang telah menaklukkan lima kejahatan Mara, Ia adalah Raja
terbesar di seluruh dunia, kami memperbaiki jalan ini untuk-Nya.”
Petapa Sumedha merasa gembira mendengar
kata “Buddha” yang diucapkan penduduk Rammavati. Ia mengalami
kebahagiaan batin yang luar biasa dan mengulang-ulang kata “Buddha,
Buddha” ia tidak dapat mengendalikan kebahagiaan yang luar biasa itu
muncul dalam dirinya.
Karena kebahagiaan dan perasaan religius yang mendalam, Petapa Sumedha kemudian merenungkan dalam-dalam,”Aku
akan menanam benih kebajikan yang baik di tanah yang subur yaitu Buddha
Dipankara ini, untuk melakukan perbuatan baik, yang sulit dan sangat
jarang dapat dilakukan, juga untuk menyaksikan saat-saat bahagia
munculnya seorang Buddha. Saat-saat bahagia itu sekarang telah datang
kepadaku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya.”
Dengan pikiran seperti itu, Sumedha
meminta kepada para penduduk untuk memberi bagian sedikit jalan untuk
petapa Sumedha, sebab ia ingin berpartisipasi dalam pekerjaan
memperbaiki jalan tersebut. Kemudian, penduduk dewa memberinya satu ruas
jalan yang panjang, becek dan sangat tidak rata yang sangat sulit
diperbaiki. Hal ini dikarenakan para penduduk percaya, bahwa Petapa
Sumedha adalah Petapa yang sakti yang pasti mampu menyelesaikan
pekerjaan yang sulit tersebut. Dan Sumedha pun dengan bahagia menerima
bagian jalan yang harus dikerjakannya tersebut.
Sebelum Sumedha menyelesaikan
pekerjaannya, Buddha Dipankara tiba diiringi 400.000 Arahanta, yang
semuanya telah memiliki enam kemampuan batin-tinggi (Abhinna).
Sumedha mengorbankan dirinya
Sumedha menatap tanpa berkedip pada sosok Buddha, yang dianugerahi dengan 32 tanda besar seorang manusia luar-biasa ( Mahapurissa ),
dan 80 tanda-tanda kecil lainnya. Ia menyaksikan sosok Buddha yang
indah dan bercahaya, seperti terbuat dari emas-murni, dengan aura terang
di sekeliling-Nya dan enam sinar memancar dari tubuh-Nya, seperti kilat
di langit biru.
Kemudian Sumedha memutuskan sebagai berikut, “Hari
ini, aku akan mengorbankan diriku untuk Buddha. Agar Ia tidak menginjak
lumpur dan mengalami ketidaknyamanan, biarlah Buddha beserta 400.000
Arahanta menginjak punggungku dan seolah-olah berjalan di atas jembatan
kayu berwarna batu delima. Dengan menggunakan tubuhku sebagai jembatan
oleh Buddha dan para Arahanta, aku pasti akan mendapat kesejahteraan dan
kebahagiaan dalam jangka waktu yang lama.”
Setelah mengambil keputusan demikian, ia
melepaskan sabuknya, menggelar matras kulit macan dan jubahnya di atas
tanah becek kemudian berbaring tiarap diatasnya, bagaikan jembatan yang
terbuat dari kayu berwarna batu delima.
Aspirasi Sumedha untuk mencapai Ke-Buddha-an
Sumedha, yang sedang bertiarap, seketika muncul keinginan untuk menjadi Buddha, “Jika
aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana
asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya ? Seorang
manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana
sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipankara ? Aku akan
berusaha sekuat mungkin untuk mencapai ke-Buddha-an.”
“Apa
gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian,
padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki
kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai
ke-Buddha-an dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari
lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”
“Setelah
mencapai ke-Buddha-an sebagai hasi dari perbuatanku yang tiada
bandingnya dengan bertiarap dan menjadi jembatan untuk Buddha Dipankara,
aku akan menolong banyak makhluk keluar dari lingkaran kelahiran yang
merupakan lautan penderitaan.”
“
Setelah menyeberangi sungai samsara dan meninggalkan tiga alam
kehiduapn, aku akan menaiki rakit Dhamma Jalan Mulia Berfaktor Delapan
dan pergi menyelamatkan semua makhluk termasuk dewa.” Demikianlah pikirannya bercita-cita untuk menjadi Buddha.
Sumitta , Kelak Menjadi Yasodhara
Sewaktu Sumdedha sedang memikirkan
cita-cita untuk mencapai ke-Buddha-an, seorang Brahmana perempuan muda
bernama Sumitta bergabung dengan para penduduk menyambut Buddha. Ia
membawa delapan kuntum bunga teratai untuk dipersembahkan pada Buddha
Dipankara. Sewaktu ia sampai di tengah-tengah keramaian dan begitu
matanya menatap Sumedha, ia terpesona dan seketika jatuh cinta
kepadanya. Ia ingin mempersembahkan sesuatu pada Sumedha, tapi ia tidak
memiliki apa-apa kecuali delapan kuntum teratai. Kemudian ia berkata
kepada Sumedha, “Yang Mulia
petapa, aku berikan padamu lima kuntum bunga teratai, agar engkau dapat
mempersembahkannya sendiri kepada Buddha. Sisa tiga kuntum ini adalah
sebagai persembahanku kepada Buddha”. Kemudian ia menyerahkan lima kuntum bunga teratai itu kepada Sumedha, kemudian menyampaikan keinginannya, “
Yang Mulia Petapa, selama waktu yang akan engkau jalani dalam mencapai
Ke-Buddha-an ; semoga aku dapat selalu menjadi pendampingmu.”
Sumedha menerima bunga teratai dari
Sumitta dan di tengah-tengah keramaian, mempersembahkannya kepada
Buddha-Dipankara, yang datang menghampirinya.
Ramalan Pasti dari Buddha Dipankara : Sumedha kelak akan menjadi Buddha
Mengamati apa yang sedang terjadi antara Sumedha dan Sumitta, Buddha membuat ramalan di tengah-tengah keramaian :
“
O… Sumedha, perempuan ini Sumitta, akan menjadi pendampingmu dalam
berbagi hidup, membantumu dengan semangat dan perbuatan yang sama dalam
usahamu mencapai ke-Buddha-an, ia akan membahagiakanmu dalam setiap
pikiran, perkataan dan perbuatannya, ia akan berpenampilan cantik dan
menyenangkan, manis tutur katanya dan baik hati. Dalam usahamu mencapai
ke-Buddha-an, dalam kelahiranmu yang terakhir, ia akan menjadi murid
perempuan yang akan menerima warisan spiritual darimu, menjadi seorang
Arahanta, lengkap dengan kemampuan batin tinggi.”
Pada saat Buddha-Dipankara menyatakan
hal tersebut diatas, Petapa Sumedha memang telah memenuhi kedelapan
faktor yang diperlukan untuk menerima ramalan kepastian bahwa kelak ia
akan menjadi Buddha. Kedelapan faktor tersebut adalah :
- Ia adalah manusia
- Ia adalah laki-laki
- Telah memenuhi semua kondisi seperti Kesempurnaan yang diperlukan untuk meraih tingkat ke-Arahatta-an dalam kehidupan itu juga
- Dia harus bertemu muka dengan muka dengan seorang Buddha yang hidup.
- Dia harus menjadi seorang Petapa yang percaya hukum karma (Kammavadi) atau pernah menjadi anggota Sangha dalam masa kehidupan seorang Buddha.
- 6. Dia harus memiliki kekuatan-batin / mencapai keempat Rupa-Jhana dan keempat Arupa-Jhana ( yang dikenal sebagai “Attha-Samapatti-Jhana-Labhi” ).
- Berusaha keras untuk mengembangkan kesempurnaan tanpa memperdulikan hidupnya .
- Dia harus memiliki kebulatan tekad yang kuat untuk menjadi seorang Buddha meskipun dia tahu bahwa dia akan menanggung penderitaan sebagai binatang, setan, dan lain-lain di dunia yang menyedihkan. Dengan kata lain, dia harus mencegah dirinya untuk mencapai tingkat Arahat, dengan tekad bulat dan tetap berdiam di dalam samsara untuk kepentingan ummat manusia dan para dewa.
Mengetahui bahwa Sumedha memiliki
persyaratan ini, Buddha Dipankara menghampiri Sumedha dan berdiri di
dekat kepalanya, selagi ia masih bertiarap, dengan kekuatan batin-Nya,
melihat jauh ke masa depan untuk mengetahui apakah Sumedha, yang sedang
berbaring tiarap di atas lumpur, yang berkeinginan untuk menjadi Buddha,
dapat tercapai keinginannya atau tidak.
Buddha Dipankara mengetahui semua tentang masa depan Sumedha, dan berkata,” Sumedha akan menjadi Buddha, bernama Gotama, setelah 4 Asankkheyya-Kappa dan 100.000 Kappa sejak saat ini.”
Setelah mendengar ramalan Buddha Dipankara yang tiada bandingnya di tiga alam, dewa dan manusia bersorak gembira, “Dikatakan Sumedha Sang petapa, adalah benar-benar seorang Bakal Buddha.” Mereka
menepuk lengan kiri atas mereka dalam kegembiraan ( pada masa itu
mereka tidak bertepuk tangan untuk menyatakan kegembiraan, tapi menepuk
lengan kiri dengan telapak tangan kanan ). Dewa dan Brahma yang datang
dari sepuluh ribu alam semesta bersama-sama dengan manusia mengangkat
tangan memberi penghormatan.
Mereka juga mengungkapkannya lewat pengharapan,”
Meskipun sekarang kami gagal dalam melatih ajaran Buddha Dipankara,
raja dunia, kami akan bertemu lagi dengan petapa mulia ini yang kelak
akan menjadi Buddha; saat itu kami akan sungguh-sungguh berusaha keras
untuk mencapai pengetahuan Dhamma yang lebih tinggi.”
Setelah Buddha Dipankara membuat
ramalan, Ia pergi dengan menginjakkan kaki kanan-Nya di sebelah
Sumedha. Keempat ratus ribu Arahanta juga meninggalkan tempat dengan
Sumedha di sisi kanan mereka ( setelah mempersembahkan bunga dan dupa ).
Demikian pula dengan manusia, para Naga, musisi Surgawi ( Gandhabba )
meninggalkan tempat setelah memberi penghormatan kepada Sumedha dan
mempersembahkan bunga dan dupa.
Setelah Buddha Dipankara dan keempat
ratus ribu Arahanta menghilang dari pandangan, Sumedha bangun dengan
gembira dari posisi tiarapnya, dan dengan pikiran dipenuhi kegembiraan
dan kebahagiaan, ia duduk bersila diaas tumpukan bunga-bunga yang
ditebarkan untuk menghormatinya oleh para dewa dan manusia, kemudian
merenungkan :
“
Aku telah berhasil mencapai Jhana dan lima kemampuan batin. Di sepuluh
ribu alam semesta, tidak ada petapa yang menyamaiku. Aku tidak melihat
seorang pun yang sama denganku dalam hal kekuatan batin.” Dan Sumedhapun merasakan kegembiraan dan kebahagiaan luar biasa.
II. MENYEMPURNAKAN DASA-PARAMITA
Selama Empat Asankkheyya Kappa + 100.000
Maha-Kappa ( siklus dunia ) yang tak terhitung lamanya, Boddhisatta
Gotama berjuang untuk menyempurnakan sepuluh kesempurnaan
(Dasa-Paramita) yaitu :
- Kesempurnaan Kemurahan-Hati ( Dana-Paramita )
- Kesempurnaan Moralitas ( Sila-Paramita )
- Kesempurnaan Pelepasan-Keduniawian ( Nekkhama-Paramita )
- Kesempurnaan Kebijaksanaan ( Panna-Paramita )
- Kesempurnaan Semangat ( Viriya-Paramita )
- Kesempurnaan Kesabaran ( Khanti-Paramita )
- Kesempurnaan Kebenaran ( Sacca-Paramita )
- Kesempurnaan Kebulatan-Tekad ( Adhitthana-Paramita )
- Kesempurnaan Cinta-Kasih ( Metta-Paramita )
- Kesempurnaan Keseimbangan-Batin ( Upekkha-Paramita )
Dibawah ini dituturkan kisah-kisah
kehidupan lampau yang menjelaskan bagaimana Boddhisatta Gotama mencapai
kesempurnaan dalam masing-masing dari sepuluh kebajikan itu. Harus
dimengerti bahwa Boddhisatta mempraktikkan masing-masing dari sepuluh
kesempurnaan itu dalam banyak kelahiran yang tak terhitung, dan hingga
tingkat yang tidak hanya mencakup pemberian kekayaan dan kerajaannya
untuk kebaikan dunia. Kemurahan hatinya juga mencakup pemberian
anggota-anggota tubuhnya, kehidupannya, dan terutama, anak-anak dan
istrinya yang tercinta, hingga mencapai kesempurnaan dalam kemurahan
hati. Sepanjang sekian banyak kalpa Boddhisatta bekerja dengan tak kenal
lelah, dengan kebulatan tekad dan ketekunannya, untuk menyempurnakan
setiap Paramita.
1. Kesempurnaan Kemurahan-Hati ( Dana-Paramita )
Kisah berikut ini diambil dari Wessantara Jataka.
Sekian waktu yang lalu di negara yang sekarang kita kenal sebagai
India, ada sebuah kota bernama Jetuttara. Jetuttara diperinta oleh
seorang Raja yang berbelas –kasih dan berkebajikan bernama Sanjaya, yang
memiliki anak bernama Wessantara. Pangeran Wessantara,
yang tak lain adalah Boddhisatta kita, adalah seorang yang sangat
mengagumkan dalam kebajikan dan terpelajar. Dia bukan hanya memiliki
segala kualitas yang dibutuhkan untuk dapat menjadi seorang ahli waris,
dia juga berbelas-kasih dan terkenal karena praktiknya dalam kemurahan
hati.
Kemasyhuran Wessantara karena kemurahan
hatinya menyebar ke segenap penjuru negeri. Seorang raja tetangga yang
iri hati, yang mendengar bahwa pangeran tak pernah menolak seorang pun,
mengirimkan orang-orangnya yang berpakaian Brahmana untuk meminta gajah
istananya yang amat besar. Pada waktu itu gajah istana kerajaan bukan
hanya sebuah simbol status yang tinggi yang dipilih dengan hati-hati, ia
juga suatu defensi yang berguna pada zaman perang. Pangeran Wessantara,
yang kaget mendengar bahwa seorang Brahmana membutuhkan gajah kerajaan,
mencurigai bahwa itu merupakan taktik dari esorang raja yang iri hati.
Karena belum pernah menolak apapun yang diminta, dia menekan pikirannya
dengan berefleksi pada kebajikan-kebajikan dari kemurahan hati sehingga
memberikan gajah istana bukan taktik politis. Dengan mengangkat kendi
emasnya tinggi-tinggi, beliau mencurahkan air sebagai tanda pemberian ke
tangan si Brahmana selaku adat pada waktu itu, dan menyerahkan gajah
istana yang dirias dengan semarak.
Ketika rakyat mendengar hadiah Pangeran
Wessantara, mereka menjadi sangat marah. Dengan mengklaim bahwa Beliau
telah menyimpang terlalu jauh dalam praktik amalnya, mereka meminta agar
Beliau dihukum karena tindakannya yang tidak sejalan dengan
kebijaksanaan politis. Pangeran Wessantara dibuang ke hutan belantara di
Gunung Wanka.
Ketika mendengar hukumannya, Pangeran Wessantara berseru, “Para
menteri tidak mengerti kebajikan dalam kemurahan hati. Mereka tidak
mengerti bahwa aku akan memberikan mataku, kepalaku, hidupku, untuk
kebaikan orang lain.” Kemudian perlahan-lahan, dalam
kesedihannya, dia berjalan ke arah ayah dan istrinya – Putri Maddi –
untuk mengucapkan selamat tinggal. Bagaimanapun juga, Putri Maddi merasa
bahwa hidup tanpa suaminya akan lebih buruk daripada kematian. Dengan
membawa kedua anak mereka, Jaliya dan Krishnajina, dia bersiap pergi ke
hutan belantara bersama dengan Pangeran.
Setelah memberikan segala sesuatu yang
mereka miliki kepada orang-orang miskin, Pangeran dan Putri dan anak
mereka masuk ke hutan dengan pakaian sederhana seperti pakaian yang
dikenakan oleh para petapa. Mereka hidup dari buah-buahan dan
tumbuh-tumbuhan di hutan dan hidup dalam harmoni dengan burung-burung
dan binatang-binatang. Anak-anak bermain-main di antara bunga-bunga nan
indah dan menceburkan diri di sungai-sungai kecil. Sang Putri
mengumpulkan buah-buahan dan kacang-kacangan untuk makanan mereka,
sementara Sang Pangeran menghabiskan waktunya dalam meditasi. Mereka
hidup dalam kebahagiaan meskipun kekurangan kekayaan dan kenyamanan yang
biasa mereka nikmati.
Suatu hari Putri Maddi pergi ke hutan
untuk mengumpulkan buah dan pangeran beserta dua anaknya yang kecil
sedang bermain di tengah bunga-bunga dengan riangnya, ketika seorang
Brahmana tua yang tubuhnya kotor akibat melakukan perjalanan mendekati
Sang Pangeran. Menyatakan bahwa istrinya telah tua dan membutuhkan
pelayanan seorang yang lebih muda, dia meminta anak-anak bangsawan itu.
Kata-kata tersebut laksana sebuah tikaman yang menembus ke jantung Sang
Pangeran. Namun, ketika merenungkan cita-citanya untuk mencapai
ke-Buddha-an, dan perlunya menyempurnakan kemurahan hati, dengan berat
hati dia memenuhi permintaan Sang Brahmana.
Melihat kesedihan di mata anak-anaknya,
Pangeran meminta agar Brahmana itu menunggu kembalinya Sang Putri supaya
anak-anak dapat mengucapkan selamat berpisah kepada ibu mereka.
Brahmana itu menolak, khawatir Pangeran akan berubah pikiran jika ada
istrinya. Meskipun Pangeran menjamin bahwa Sang Putri adalah istrinya
yang taat, dan akan mendukung keputusannya – meskipun itu menyedihkan
hatinya – Brahmana itu tidak mengubah tuntutannya.
Dengan airmata yang berlingan Sang
Pangeran menyerahkan kedua anaknya dengan mencurahkan air sebagai tanda
pemberian ke tangan Brahmana. Anak-anak yang selalu taat itu
perlahan-lahan meninggalkan ayah mereka setelah ber-namaskara dan
ber-anjali. Pangeran diliputi kesedihan yang dalam ketika melihat
anak-anaknya menerima keputusannya dengan tenang. Perpisahan dari
anak-anaknya sangat memedihkan hatinya. Kepalanya berdenyut-denyut dan
terasa sakit seakan seribu pisau menikam tenggorokannya. Dengan tujuan
ke-Buddha-an di dalam pikirannya, Pangeran menaklukkan kesakitannya dan
menahan diri dari menyesali pemberiannya.
Ketika Putri Maddi kembali dari hutan,
tangannya penuh dengan buah-buahan, dia mengetahui ada sesuatu yang
tidak wajar. Dia tidak mendengar teriakan sukacita dan tawa
anak-anaknya. Mereka tidak berlari kepadanya dan memeluknya seperti yang
biasa mereka lakukan. Kemudian dia melihat Pangeran, kepalanya menunduk
dengan kedukaan yang dalam, wajahnya diliputi dengan ketegaran untuk
mempertahankan ketetapan hatinya dengan tanpa penyesalan. Dengan berlari
ke arah pangeran, Sang putri menanyakan anak-anak mereka. Namun
Pangeran tidak dapat berbicara. Dia menatap istrinya dengan tatapan
sedih tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Sang Putri yang bingung dan putus-asa
berlari memanggil anak-anaknya, kemudian jatuh pingsan karena kesedihan
yang dalam. Boddhisatta mengangkat tubuhnya dengan lembut dan membasahi
wajahnya dengan air dingin. Kemudian dia berbicara dengan penderitaan
berat karena pengorbanan tertinggi dalam kemurahan hati yang dibuat
untuk kepentingan ummat manusia. Sang Putri menenangkan diri sendiri dan
memegang tangan Pangeran, berlutut dan berdoa memohon bantuan para dewa
untuk kesejahteraan anak-anak mereka. Setelah berjanji untuk menjadi
istrinya selama berkalpa-kalpa, Sang Putri mengerti tindakan kemurahan
hati yang tertinggi ini dan merenung, bahwa dia tidak mengeluh
seandainya suaminya memberikan dirinya – sesuai dengan permintaannya –
demi mencapai ke-Maha-Tahu-an ( Sabbannutta-Nana ).
Dunia bergetar dan aneka bunga yang
menyebarkan aroma-wangi menghujani Sang Pangeran. Suara musik surgawi
bergema di udara karena Sakka, Raja para dewa, menatap dengan perasaan
terpesona dan mengelu-elukannya sebagai Buddha yang akan datang.
Kemudian karena ingin mengujinya lebih lanjut, Sakka menyamar sebagai
seorang tua dan berkata, “Aku telah
mendengar kemurahan hatimu yang luar biasa. Kemarin kamu telah
memberikan kedua anakmu. Sekarang aku meminta istrimu yang berdiri di
sampingmu, yang seperti bidadari surgawi.”
Pangeran menatap sang istri yang tenang
ketika dia berjalan mendekatinya. Kemudian menggandeng tangannya dan
menyatukannya dengan tangan laki-laki tua itu. Dia mencurahkan air
pemberian. Tidak ada kemarahan atau keluhan yang terdengar dari Sang
Putri, karena dia tahu pikiran suaminya. Dengan linangan air mata dia
memandang suaminya dengan ungkapan cinta, dengan sikap berterimakasih
bahwa dia mampu membantu suaminya dalam usaha mencari kesempurnaan
batin.
Sebuah cahaya cemerlang yang melebihi
pancaran para dewa menerangi bumi, ketika Sakka mendapatkan kembali
bentuknya sebagai Raja di alam-alam surga, dan para Dewa turn ke bumi
untuk mengagungkan Buddha yang akan datang. Dengan menggandeng tangan
sang putri, Raja alam-alam surga dengan lembut mengembalikan dia kepada
Pangeran sambil berkata, “
Hanya mereka-mereka yang suci hatinya akan mengerti perbuatan yang
mengagumkan ini. Demi kesejahteraan umat manusia, untuk mendapatkan
kesempurnaan dalam kemurahan hati, beliau telah mempraktikkan
ketidakterikatan hingga tingkatanya yang paling penuh. Hormat pada
Buddha yang akan datang”. Setelah memberitahu bahwa
Pangeran dan istrinya akan bersatu kembali dengan anak-anak mereka dan
Raja Sanjaya, Sakka – Raja alam surgawi – naik kembali ke tempat
kediamannya di surga.
Kemurahan-hati ( Dana Paramita ) adalah yang pertama dari sepuluh kesempurnaan ( Dasa Paramita ),
namun ini adalah kebajikan terakhir yang dilengkapi Boddhisatta. Ketika
melengkapi kebajikan terakhir – kemurahan hati – Pangeran Wessantara
berseru dengan sukha-citta :
“Dunia
ini tidak menyadari meskipun dia (Putri Maddi) ada, dan tidak tahu
tentang sukkha-citta atau dukkha-cittanya, Kemudian dia pun merasakan
kekuatan dahsyat dari pemberian, dan bergetar dan bergoncang penuh
hingga tujuh kali.”
Setelah bersatu kembali dengan Raja
Sanjaya dan anak-anaknya, Pangeran Wessantara memerintah atas kerajaan
Jetuttara dengan belas kasih dan kebenaran. Sekarang dia melengkapi
sepuluh kebajikan yang dibutuhkan untuk mencapai ke-Buddha-an. Setelah
meninggal Pangeran Wessantara dilahirkan di Surga Tusita sebagai Dewa
Setaketu, untuk menunggu waktu yang tepat bagi kelahirannya yang
terakhir sebagai Samma-Sambuddha.
2. Kesempurnaan Moralitas ( Sila-Paramita )
Kisah berikut ini diceritakan dalam Sankhapala Jataka.
Pada masa lalu yang jauh, kerajaan Rajagaha diperintah oleh seorang
raja yang berkebajikan bernama Magadha. Ketika anaknya, Pangeran
Duriyodha telah cukup usia, Raja Magadha menyerahkan kerajaan kepadanya.
Kemudian dia menjalani kehidupan sebagai seorang petapa dan tinggal di
sebuah petapaan di halaman tertutup dalam lingkungan istana.
Pangeran Duriyodha, yang sangat cinta
pada ayahnya, mengunjungi sang ayah 3-4 x sehari dan menghujani dia
dengan pemberian-pemberian dan barang-barang mewah. Merasa bahwa
kehidupan seorang petapa sejati tidak mungkin selama tinggal di
lingkungan istana, Raja tua meninggalkannya. Dia berpindah ke sebuah
kota yang jauh yang bernama Mahinsaka dan tinggal di sebuah gua batu di
sisi sebuah danau indah bernama Sankhapala.
Tak lama kemudian raja tua yang
dihormati oleh semua orang menjadi seorang guru besar. Satu makhluk Raja
Naga yang tinggal di sebuah kerajaan yang indah dan mewah, yang tak
jauh dari tempat itu sering mengunjungi raja tua itu untuk mendengarkan
ajarannya. Suatu hari, ketika Pangeran Duriyodha mengunjungi ayahnya,
beliau berjumpa dengan Raja Naga dan para pengikutnya. Setelah menerima
undangan Raja Naga, Pangeran mengunjungi kerajaannya yang indah. Sebuah
keinginan yang kuat untuk hidup di dalam kerajaan yang indah itu muncul
di dalam dirinya. Setelah kematiannya Pangeran Duriyodha dilahirkan
kembali di dalam kerajaan Naga sebagai seorang raja dengan nama
Sankhapala.
Raja Sankhapala
(Boddhisatta) sering mengenakan jubah yang sederhana dan bermeditasi di
hutan yang dekat. Suatu hari yang indah, Raja Sankhapala menanggalkan
pakaian kebesarannya dan berdandan sebagai seorang petapa yang
sederhana. Dia kemudian melakukan perjalanan jauh ke dalam hutan, untuk
bermeditasi di tengah-tengah aneka bunga yang bermekaran di dekat danau
Sankhapala nan indah.
Beberapa pemburu, yang telah berburu
selama berhari-hari tanpa hasil, mendekati raja yang sedang tenggelam di
dalam kedalaman meditasi. Karena tidak mengenal Raja, mereka memutuskan
untuk membunuh Beliau dan menyantap dagingnya karena mereka tidak
mendapatkan makanan selama berhari-hari. Setelah menusuk beliau dengan
tombak-tombak mereka yang tajam, mereka memperlakukan Beliau sebagai
tawanan. Kemudian mereka mengikat kaki dan tangan beliau, dan
menggantung beliau pada sebuah tongkat panjang dengan kaki diatas.
Dengan menempatkan tongkat di pundak mereka, mereka membawa Beliau ke camp mereka.
Kepala Raja, yang ditarik di
tengah-tengah batu-batu dan semak-semak, memar dan mengalami luka-luka.
Tubuh beliau, yang dilukai dengan pisau-pisau dan tombak pemburu mereka,
mengalami kesakitan yang hebat. Mengetahui bahwa mereka tidak mengenal
dirinya, dan itu merupakan sebuah tindakan yang dilakukan karena mereka
sangat lapar. Boddhisatta tetap tenang. Dengan memancarkan belas-kasih
dan cinta-kasih kepada lawan-lawannya Beliau menerima kesakitannya
dengan tenang, tidak mengucapkan sepatah kata pun yang menyatakan
kebencian atau kemauan jahat.
Pada saat itu seorang pedagang bernama
Alara, yang sedang menempuh perjalanan melewati hutan itu dengan
kereta-kereta dan lembu-lembunya, melihat Boddhisatta. Dipenuhi dengan
belas kasihan ketika melihat ‘petapa’ yang tenang meskipun terluka,
Alara memberikan emas dan barang-barang dagangan kepada para pemburu itu
untuk kebebasan beliau. Alara yang kemudian menerima Beliau dengan
lembut, membersihkan dan mengobati luka-lukanya. Raja kemudian
menerangkan bahwa dirinya tak lain adalah Raja Sankhapala dan membawanya
kembali ke kerajaan Naga untuk memberikan ganjaran kepadanya atas
kebaikan hati dan belas-kasihnya. Dalam menaati peraturan-peraturan
selama mengalami siksaan, yang menunjukkan tidak adanya kemarahan atau
dendam (kemauan jahat), Boddhisatta melengkapi kesempurnaan dalam
moralitas, kemudian dengan sukacita Beliau berseru :
“Mereka
melukai aku dengan tombak-tombak yang lancip. Mereka menganiaya aku
dengan pisau-pisau pemburu mereka. Aku tidak marah, tidak menyimpannya
di dalam hati, tetapi mempertahankan peraturan-peraturan untuk mencapai
kesempurnaan.”
3. Kesempurnaan Pelepasan-Keduniawian ( Nekkhama-Paramita )
Kisah berikut ini diceritakan dalam Cula Sutasoma Jataka.
Pada masa lampau yang jauh di kota Sudassana memerintah seorang raja
bernama Brahmadatta. Boddhisatta kita dilahirkan sebagai anak
laki-lakinya dan bernama Somanassa.
Pangeran Somanassa terkenal karena cintanya pada pelajaran,
kebijaksanaannya dan kebajikannya. Ketika Pangeran cukup usia, dia
menikahi seorang putri ayu bernama Chanda Dewi Jauh sebelum raja
mewariskan kerajaan kepada anaknya itu, yang memenangkan hati rakyatnya
melalui kebaikan hati dan kebajikannya. Pangeran , yang sangat cinta
pada pelajaran, segera ditunjuk sebagai Raja Sutasoma, nama yang sering digunakan untuk menunjuk pada seorang yang sangat terpelajar.
Raja Sutasoma (boddhisatta kita)
memutuskan bahwa beliau akan memfokuskan bagian pertama dari
kehidupannya untuk kesejahteraan rakyat dan kerajaannya, tahun-tahun
berikutnya untuk perkembangan spiritual. Dengan pikiran ini, Beliau
meminta tukang cukur istana untuk memberitahu kepadanya tentang rambut
abu-abu pertama yang muncul di kepalanya. Suatu hari ketika Raja
memotong rambutnya, tukang cukur itu mendapat sehelai rambut abu-abu.
Memotongnya dengan hati-hati dia menunjukkan pada Raja, yang kemudian
memutuskan bahwa itu adalah saat bagi dia untuk meninggalkan
kerajaannya, dan mulai mempraktikkan perkembangan spiritual. Setelah
mengoperkan kerajaan kepada adiknya yang laki-laki, Pangeran Somadatta,
Raja Sutasoma meninggalkan kerajaannya dan kekayaannya lalu menjalani
kehidupan sebagai seorang petapa.
Pangeran Somadatta, Putri Chanda Dewi
dan rakyat kerajaan meminta raja yang populer itu untuk tetap tinggal.
Namun sang raja, yang sekarang telah membulatkan hati untuk menjalani
kehidupan spiritual, menolak untuk mengubah pikirannya.
Pangeran Somadatta enggan mengambil-alih
kerajaan dan tugas-tugas istana kerajaan. Namun berbagai hal sungguh
tidak sama. Sang pangeran muda merindukan kakaknya, yang dicintainya dan
yang kepadanya dia bergantung. Rakyat kerajaan, meskipun mencintai
Pangeran Somadatta, sering membicarakan Raja bajik yang telah
meninggalkan keduniawian itu. Mereka memutuskan untuk mencoba Beliau
pada suatu waktu untuk memikat hati Raja dengan aneka kesukaan duniawi.
Pangeran, Ratu Chanda Dewi, para menteri dan banyak rakyat mengunjungi
tempat petapaan di hutan dimana Raja berdiam. Meskipun mengenakan
pakaian sederhana, Raja tampak cerah dan damai, ketika dia duduk dalam
meditasi di tengah-tengah aneka bunga yang bermekaran di petapaannya.
Dengan menghormat di depan Raja, yang sekarang mengenakan pakaian petapa
yang sederhana, mereka mempersembahkan kerajaan kepadanya.
Raja mendengarkan mereka dengan sabar,
kemudian mengajarkan kepada mereka kebajikan dari kehidupan suci.
Setelah mendengar ceramah beliau, Ratu dan rakyat yang menyertainya
memutuskan untuk meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi guna
mengembangkan kehidupan spiritual mereka. Setelah diberi nasehat dan
dorongan oleh Raja, Pangeran Muda dan para menterinya kembali ke istana
untuk memerintah rakyat disana. Ketika menyempurnakan kebajikan dalam
pelepasan keduniawian Boddhisatta berseru demikian :
“Sebuah
kerajaan jatuh ke dalam tanganku. Seperti air liur yang menjijikkan aku
biarkan ia jatuh. Karena tidak merasakan keinginan sedikitpun, dan
dengan demikian pelepasan keduniawian tercapai.”
4. Kesempurnaan Kebijaksanaan ( Panna-Paramita )
Kisah berikut ini diceritakan dalam Sattubhatta Jataka. Pada masa lampau yang jauh Boddhisatta dilahirkan sebagai seorang Pandhita yang amat bijaksana dengan nama Pandhita Senaka.
Raja menunjuk Beliau sebagai menteri dan tak lama kemudian beliau
sangat termasyhur, karena kebijaksanaan dan keadilannya ketika menangani
berbagai problem dan konflik, di antara rakyat yang berada di bawah
dominasinya. Kemasyhurannya tersebar ke kota sehingga orang-orang yang
mengalami problem datang kepadanya dari segala penjuru negeri, untuk
mencari keadilan dan jalan keluar yang tepat.
Di kota itu tinggal seorang Brahmana
yang memiliki istri muda yang sangat ayu. Tanpa setahu Sang Brahmana dia
bercinta dengan banyak laki-laki, dan sering menjamu para tamu
laki-lakinya ketika suaminya tidak ada. Pada suatu hari perempuan muda
itu meminta agar suaminya mencari pekerjaan supaya dia dapat
mengumpulkan emas, untuk menyediakan para pelayan bagi mereka dan
menabung untuk masa depan mereka. Kemudian, setelah mengemas
makanan-makanan yang lezat untuk bekal di perjalanan, dia menyuruh
suaminya pergi.
Brahmana tua itu bekerja keras dan
berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan emas, guna menyediakan dua pelayan
dan menabung untuk masa depan mereka. Kemudian, ketika ingat makanan
yang dipaket istrinya, dia berhenti di sisi jalan untuk menyantap
makanan-makanan lezat yang dibuat istrinya. Tanpa setahu dia, seekor
ular beracun merayap ke dalam tas terbuka yang berisi makanan itu,
karena tertarik pada aromanya yang sedap. Setelah memakan isinya dia
menutup tas itu, dan melanjutkan perjalanan pulang tanpa menyadari bahwa
seekor ular ada di dalam tas yang berisi makanan yang tersisa.
Satu dewa pohon, ketika melihat bahaya mengancam laki-laki itu, menampakkan diri di hadapan Sang Brahmana dan berseru,”Jika kamu kembali ke rumah, istri kau akan mati ; jika kamu berhenti lagi di sisi jalan, kamu akan mati.”
Brahmana tua itu terkejut dan khawatir. Karena tidak dapat mengerti
kata-kata dewa itu, dia terbelenggu dalam kedukaan. Dalam perjalanan itu
dia tertarik oleh sebuah rombongan besar yang datang untuk mengunjungi
Pandhita Senaka, guna mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepadanya.
Brahmana itu juga mendekati Pandhita tersebut, dan setelah menceritakan
riwayatnya, dia meminta kepada Pandhita untuk menerangkan kata-kata Dewa
itu.
Setelah merenungkan kata-kata itu selama
beberapa waktu Pandhita Senaka meminta, kepada Sang Brahmana untuk
melepaskan ikatan di sekitar tas makanan itu dengan hati-hati. Dia
mengatakan kepada Brahmana itu bahwa ia curiga ada ular beracun di dalam
tas. Dia kemudian menerangkan kata-kata Dewa itu dengan mengatakan
bahwa jika Sang Brahmana pulang, maka istrinya akan mati karena tidak
menyadari adanya ular itu, dia akan memasukkan tangannya ke dalam tas
itu untuk mengeluarkan makanan yang tersisa, danjika dia berhenti dalam
perjalanan untuk istirahat lagi, dia akan mati, karena dia akan
memasukkan tangannya ke dalam tas untuk mengambil makanan. Sesuai
petunjuk, Brahmana tua itu membuka tas dengan hati-hati. Seekor ular
kecil tetapi beracun merayap keluar dan masuk kedalam semak-semak.
Laki-laki tua itu merasa sangat
berterimakasih kepada Pandhita itu, yang telah menyelamatkan hidupnya.
Dia mempersembahkan 700 coin emas, yang dia peroleh kepada Pandhita.
Pandhita Senaka, yang terkejut ketika melihat begitu banyak uang yang
dimiliki laki-laki tua yang lelah, akibat melakukan perjalanan itu,
menanyakan kepadanya bagaimana dia bisa memiliki begitu banyak uang, dan
meminta dia untuk menuturkan kejadian beberapa hari yang lalu dengan
lengkap.
Merasa kasihan pada laki-laki tua yang
telah bekerja keras, Pandhita menolak hadiah itu dan memberi dia 300
coin emas supaya dia memiliki 1.000 coin emas untuk masa depan dia dan
istrinya. Namun, karena mencurigai perempuan muda itu berkhianat, dia
meminta kepada Brahmana itu untuk tidak memberitahu istrinya tentang
tabungannya. Dia menyediakan dua pelayan untuk istrinya sesuai
permintaannya dan memendam seluruh hartanya di taman mereka dengan
setahu istrinya.
Beberapa hari kemudian dia terkejut
menemukan seluruh emasnya telah lenyap. Dalam bingungnya, dia
mengunjungi Pandhita Senaka yang bijaksana dengan berharap mendapatkan
solusi untuk masalahnya. Boddhisatta mendengarkan kasus itu, dan
mencurigai pengkhianatan perempuan muda itu, menasehati Brahmana tua itu
untuk menjami 14 orang tamu selama 7 hari. Tujuh tamu dipilih oleh
istrinya dan tujuh tamu lain dia sendiri yang memilih. Setiap hari
secara berturut-turut, masing-masing mengeliminasi satu tamu supaya pada
hari ketujuh hanya ada dua tamu, yang mana satu tamu dipilih oleh
istrinya dan satu lagi dipilih oleh dia sendiri. Dia kemudian meminta
agar Brahmana itu datang kembali dan memberitahukan identitas tamu
terakhir yang dipilih istrinya.
Brahmana itu mengikuti instruksi Sang
Bijaksana dan mengidentifikasi tamu terakhir istrinya – tamu yang
dipilih perempuan itu untuk mengikuti perjamuan selama tujuh hari penuh.
Boddhisatta kemudian mengirim orang-orangnya untuk menyelidiki rumah
tamu terakhir itu dan menemukan emas yang dicuri.
Ketika ditangkap laki-laki itu mengakui
kesalahannya dan hubungannya dengan perempuan muda itu. Boddhisatta itu
menanyakan kepada Sang Brahmana apakah dia bersedia memaafkan istrinya
dan tetap bersama dia. Setelah diberitahu bahwa dia masih mencintai
istrinya dan ingin tetap bersama dia, Boddhisatta menasehati perempuan
muda itu tentang bahaya dan kebodohan dari tingkah-lakunya dan
akibat-akibat dari pelanggaran sexual. Ketika mendengar kebijaksanaan
Boddhisatta, perempuan muda itu bersedia untuk mengubah tingkah-lakunya.
Brahmana dan istrinya pulang dengan damai.
Boddhisatta telah sering kali
mempraktikkan kebajikan dalam bentuk kebijaksanaan selama banyak
kelahiran. Ummaga-Jataka melukiskan banyak problem yang beliua pecahkan
dalam upayanya mencari kebijaksanaan. Dengan memecahkan problem ini,
Boddhisatta melengkapi kebajikan dalam bentuk kebijaksnaan. Beliau
berseru dalam kebahagiaan :
“Dengan
kebijaksanaan aku menyelidiki kasus ini dan membebaskan sang brahmana
dari kesedihan yang dalam. Dalam kebijaksanaan tak seorang pun yang
menyamai aku, aku telah mencapai kesempurnaan dalam kebijaksanaan.”
5. Kesempurnaan Semangat / Usaha ( Viriya-Paramita )
Kisah berikut ini diceritakan dalam Maha Janaka Jataka.
Pada masa lampau yang jauh, kerajaan Mithila di negara yang sekarang
dikenal sebagai India, diperintah oleh seorang raja bernama Maha Janaka.
Beliau memiliki dua anak laki-laki bernama Arittha Janaka dan Pola
Janaka. Ketika anak yang lebih tua, Arittha, telah cukup umur, Raja Maha
Janaka menunjuk dia sebagai raja baru (penggantinya) dan beliau sendiri
pensiun. Beliau juga menunjuk anaknya yang lebih muda bernama Pola,
sebagai perdana menteri.
Tak lama kemudian raja tua mangkat.
Kedua kakak beradik memerintah kerajaan dengan ramah dan bijaksana.
Seorang menteri yang iri hati pada keramahan dan perhatian yang raja
berikan kepada perdana menteri, merencanakan untuk menghancurkan
Pangeran Pola. Dia mulai meracuni pikiran Raja Arittha dengan tuduhan
yang salah tentang saudaranya. Raja, yang percaya pada menterinya,
segera mulai berpikir bahwa Pangeran Pola merencanakan untuk membunuhnya
dan merebut kerajaannya. Dia memerintahkan agar saudaranya itu dirantai
dan dijebloskan ke dalam penjara bawah tanah istana.
Pangeran Pola, yang sebenarnya seorang
pangeran yang baik, kaget. Dia tahu bahwa dirinya tidak pernah melakukan
suatu perbuatan tercela dengan pikiran, ucapan atau tindakan. Dengan
menggunakan kekuatan Kebenaran dia beraspirasi demikian, “Aku
tidak pernah melakukan suatu perbuatan yang tercela baik dengan
pikiran, ucapan maupun tindakan. Dengan kekuatan Kebenaran, semoga
rantai yang membelengguku hancur.” Dengan kekuatan
Kebenaran belenggu itu pun terhancurkan. Pangeran muda itu melarikan
diri ke sebuah kerajaan tetangga dan hidup dalam penyamaran bersama
orang-orang desa.
Pangeran Pola, yang memiliki karakter
dan kualitas seorang pemimpin, mendapat dukungan dari rakyat desa. Dia
mengirim pesan yang meminta abangnya menyerahkan kerajaan kepada dirinya
karena tindakannya yang keliru dengan menghukum seorang yang tidak
bersalah. Raja Arittha menolak. Dengan membentuk suatu pasukan, Pangeran
Pola bersiap menyerang kakaknya yang menghukum dirinya karena
kecerobohan.
Raja Arittha menyadari bahwa dirinya
bisa mati di medan perang. Dia menyerahkan berbagai permata kepada
istrinya yang sedang hamil anak pertama. Dia meminta kepada istrinya
untuk melarikan diri dari kerajaan, demi keselamatannya jika dia mati di
medan perang. Raja Arittha tewas di pertempuran dan Pangeran Pola
mengambil alih kerajaan Mitthila sebagai Raja.
Ratu, dengan bantuan sebuah kereta
perang yang bergerak cepat, menempuh perjalanan ke kota Kala Champa dan
disana hidup di antara orang-orang miskin, di sebuah rumah untuk para
tuna wisma. Suatu hari, seorang brahmana bersama para siswa pengikutnya
yang sedang dalam perjalanan, mereka menuju sebuah danau untuk mandi
melewati rumah itu. Melihat ratu berparas ayu yang sedang mengandung,
dia merasa kasihan. Membawa pulang dia ke ruamh, dia minta istrinya
memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya karena dia adalah seorang perempuan
yang lebih muda. Tak lama kemudian ratu melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tak lain adalah Boddhisatta kita. Dia menamai bayi itu Maha-Janaka seperti kakeknya.
Pangeran bayi itu tumbuh menjadi seorang
siswa yang baik. Dia juga menjadi seorang olahragawan yang kuat. Namun,
dia sering diolok-olok oleh teman-teman sebayanya sebagai seorang
miskin yang tidak berayah. Karena ingin mengetahui ayahnya yang sejati,
Pangeran bertanya kepada ibunya. Ketika mendengar bahwa dirinya anak
seorang raja dan bahwa ibunya masih menyimpan permata-permata kerajaan,
dia memutuskan untuk mencoba keberuntungannya.
Saat itu pangeran berusia enam-belas tahun. Ketika akan meninggalkan ibunya, Pangeran Maha-Janaka
minta izin untuk pergi berlayar sebagai pedagang di kapal. Ibunya
memberi dia satu bagian dari permata-permata kerajaan, dan mengucapkan
padanya selamat jalan dan mendoakan kesuksesannya. Tujuh hari kemudian
perahu itu menghadapi kesulitan. Laut yang bergelora mengamuk kapal itu
dan menyebabkannya terombang-ambing ke kiri dan ke kanan. Anak buah
kapal yang berani mencoba untuk mengontrol kapal ketika mereka melihat
bahwa ia dikelilingi oleh beberapa kura-kura raksasa. Para anak buah
kapal ketakutan tak berdaya menghadapi pemandangan makhluk-makhluk
raksasa yang tidak lazim itu. Karena ketakutan mereka mulai berdoa
kepada para Dewa untuk menyelamatkan mereka.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Maha-Janaka adalah berkebalikan dengan anak buah kapal lainnya yang memilih untuk berdoa meminta keselamatan kepada Dewa. Pangeran Maha-Janaka
menyadari bahwa kapal akan segera terbalik. Dia mendesak sesama crew
untuk mengikuti dirinya, dia menggunakan ghee (minyak) pada tubuhnya dan
menyantap makanan untuk mempertahankan dirinya. Kemudian, setelah
memanjat tiang kapal, dia terjun ke dalam air dan berenang. Setiap otot
pada tubuhnya sakit dan bibirnya kering. Angin , panas dan air telah
menyiksa kulitnya yang halus. Air asin menimbulkan kepedihan sementara
panas matahari yang sedang meninggi membakar kulitnya. Tujuh hari telah
lewat – tujuh hari dalam kesulitan dan usaha yang berat tetapi dia masih
belum melihat daratan. Melihat seekor camar laut pada suatu jarak
tertentu beliau melakukan usaha keras, akhirnya dia ingat bahwa dia
sedang membawa tubuhnya yang terluka ke sebuah teluk kecil yang
tersembunyi.
Pada saat yang hampir sama, Raja Pola
dari Kota Mithila sedang menghembuskan nafasnya yang terakhir. Raja tua
wafat setelah meninggalkan pesan bahwa raja berikutnya adalah laki-laki
yang dipilih oleh anak perempuannya, Putri Siwali, sebagai suaminya.
Calon demi calon, yaitu para pangeran dari negeri tetangga, dibawa ke
hadapan sang putri untuk diterima. Tetapi sang putri menolak
mentah-mentah mereka semua. Para menteri yang merasa prihatin mulai
menjelajahi seluruh negeri untuk mencari satu pemuda yang cocok.
Pangeran Maha Janaka, yang telah
dibesarkan oleh seorang petani yang penuh perhatian, sedang beristirahat
di sebuah taman yang dekat. Setelah beristirahat dan sembuh, dia
berjalan perlahan di antara bunga-bunga cantik ketika para menteri yang
naik kuda kerajaan mendekatinya. Ketika mengetahui bahwa dia adalah
putra Raja Arittha, mereka mendandani Beliau dengan pakaian kerajaan dan
membawanya ke istana. Putri Siwali terpesona ketika memandang Pangeran
Maha Janaka. Dia berlari ke arah Sang Pangeran dan memegang tangannya
dan menarik dia masuk ke dalam istana.
Dalam usaha mempertahankan hidup selama
tujuh hari dengan keberanian dalam menghadapi cobaan berat akibat
kecelakaan kapal, Boddhisatta menyempurnakan kebajikan dalam daya upaya.
Setelah menyempurnakan kebajikan yang satu ini, Beliau berseru dengan
sukhacitta :
“Kami
jauh dari memandang daratan, semua crew mati tak lain karena ketakutan,
namun pikiranku tetap tidak kacau, aku telah mencapai kesempurnaan
dalam keberanian.”
6. Kesempurnaan Kesabaran ( Khanti-Paramita )
Kisah berikut ini diceritakan dalam Khantiwada Jataka.
Pada zaman lampau yang jauh, sepanjang Kaya-Panidhana-Kala, Boddhisatta
kita dilahirkan di dalam keluarga Pandhita, dan setelah meninggalkan
kesenangan hidup yang dinikmati hari lepas hari, Beliau menjalai
kehidupan sebagai seorang petapa. Beliau terkenal karena praktik
kesabarannya, kebaikan dan belas kasihnya, dan juga karena
ketrampilannya dalam mengajar orang lain. Nama aslinya segera dilupakan
dan beliau menjadi dikenal sebagai Khantiwada, guru kesabaran. Boddhisatta tinggal di sebuah grotto (gua) nan indah disebuah hutan, di dekat sebuah kolam nan jernih yang disemarakkan dengan wangi bunga teratai biru dan putih.
Suatu hari di musim panas yang
menyengat, raja dan para istrinya dan para pengikutnya memutuskan untuk
mengunjungi hutan dimana Boddhisatta tingga. Disana, diantara aneka
kembang nan indah raja menikmati nyanyian, tarian dan kegembiraan para
istrinya yang cantik. Terpikat oleh keindahan tempat dan aroma aneka
bunga, raja merebahkan diri untuk bersantai dan menikmati nyanyian dan
tarian para istrinya. Sebentar saja dia terlelap dalam tidur, terbuai
oleh musik nan lembut dan hangatnya mentari.
Para istri raja, yang melihat junjungan
mereka tertidur, berjalan-jalan di hutan untuk mencari kesenangan yang
menyegarkan. Terpikat oleh keindahan hutan, mereka menjelajah lebih
dalam dan semakin dalam untuk mencari aneka bunga yang menawan. Tak
lama kemudian mereka tiba di gua berbau wangi dimana Boddhisatta duduk
dalam meditasi. Ketika melihat petapa yang tenang dan tak terusik mereka
mengelilingi dia dan meminta beliau membagikan kebijaksanaannya kepada
mereka.
Tak lama setelah bangun, raja menemukan
para istri dan dayang-dayangnya tidak kelihatan. Dengan mengikuti jejak
yang ditandai dengan bunga-bunga dan kelopak-kelopak bunga, yang dipetik
oleh para istrinya raja tiba ditempat petapa yang tenang dan lembut
yang dikelilingi oleh para istrinya. Dia menjadi terbakar oleh iri hati.
Kemarahanya tak terkendali, di amencaci-maki Boddhisatta dengan
kata-kata yang tidak patut,”Orang ini telah mempengaruhi istri-istriku. Dia hanya mengkhotbahkan kesabaran dan belas-kasih. Dia seorang yang munafik.” Dia meloloskan pedangnya dan bermaksud membunuh Boddhisatta.
Para istri raja itu kemudian memberikan
alasan kepadanya, dengan mengatakan bahwa petapa itu tidak melakukan
apa-apa selain mengkhotbahkan kepada mereka kebajikan dalam pengendalian
nafsu dan kesabaran. Namun hal ini membuat raja semakin gusar. Dikuasai
pikiran gila bahwa para istrinya sekarang membela sang petapa, dia
berteriak,”Mari tunjukkan praktik pengendalian dirimu!” Dengan
mengayunkan pedangnya dia menebas putus tangan sang petapa. Kemduain,
melihat ekspresi yang tenang danlembut di mata sang petapa, dia menebas
lagi dan lagi, menebas putus lengannya, hidungnya, telinganya, dan
kakinya. Dara mengucur dari tubuh Boddhisatta dan membentuk sebuah
kubangan darah di sekelilingnya. Namun tidak ada sepatah kata pun
kemarahan yang meluncur dari bibirnya. Belas kasih dan rasa kasihan
kepada raja yang bodoh itu memenuhi hati sang Boddhisatta. Mengetahui
dirinya akan meninggal, Boddhisatta memaafkan sang raja dengan
ketenangan dan kesabaran dengan mengatakan :
“Semoga
panjang umur raja yang tangannya kejam, yang karenanya tubuhku menjadi
rusak. Perbuatan-perbuatan seperti itu menyucikan batin seperti batinku,
yang menghadapinya dengan tanpa kemarahan.”
Namun raja yang kejam itu harus menerima
akibat dari perbuatannya yang biada itu. Sebuah gempa bumi yang dahsyat
dan suara gemuruh yang menakutkan membelah udara ketika tanah terbuka
dan menelan dia. Dia mati dalam siksaan yang ditimbulkan oleh api
kebenciannya.
Meskipun kesakitan jasmani dibawah
pedang raja yang kejam itu tak tertahankan, Boddhisatta mempertahankan
ketenangan dan kesabarannya dan tidak merasakan kemarahan atau kebencian
kepada raja itu. Dan dengan berbuat demikian, setelah sekian lama
mempraktikkan kesabaran, Beliau melengkapi kebajikan dalam kesabaran.
7. Kesempurnaan Kebenaran ( Sacca-Paramita )
Kisah ini diceritakan dalam Maha Sutasoma Jataka ( Sutasoma Jataka yang lebih besar ).
Pada zaman lampau yang jauh , di negara yang sekarang kita kenal
sebagai India, Boddhisatta dilahirkan di dalam keluarga istana dari suku
Kaurawa. Karena wajah tampannya yang luar biasa dia dinamakan Sutasoma, yang berarti “Soma yang tampan seindah rembulan”.
Pangeran Sutasoma sangat unggul dalam pelajaran dan terkenal karena
praktiknya dalam agama. Tak lama kemudian beliau melampaui ayahnya dalam
kebijaksanaan dan kebajikan, kemudian raja menyerahkan separuh dari
kerajaannya kepada anaknya dan menjadikan dia ahli warisnya. Kerajaan
diperintah dengan baik oleh ayah dan anak dan rakyat hidup dalam
kebahagiaan dan kepuasan.
Suatu hari yang indah di bulan Mei.
Aneka bunga bermekaran, memperindah pohon-pohon dengan wara-warninya
yang cemerlang. Aroma wangi mereka dan keriangan para putri menarik
Pangeran yang melangkah keluar dari istana ke taman istana. Di sana,
beristirahat di bawah sebatang pohon yang teduh, Beliau menikmati
ketenangan dan keheningan taman. Seorang Brahmana, yang telah mendengar
tentang cinta Pangeran pada pelajaran religius, mendekati Beliau dan
meminta izinnya untuk membacakan beberapa syair yang ia rasa Pangeran
akan menikmatinya. Dengan ramah pangeran mengundang Brahmana itu untuk
mengambil tempat duduk di sisinya.
Di hadapannya sang Brahmana dapat
membicarakan kedamaian siang yang teduh. Para penjaga yang khawatir
menerobos masuk untuk memberitahukan, bahwa Kamashapada si pemakan
manusia sedang menjelajahi kota, untuk mencari seratus pangeran.
Kamashapada, raja sebuah kerajaan kecil, pernah mengalami nasib malang
dengan mencicipi daging manusia. Dia sangat menyukai rasa itu sehingga
dia terus menurutui keinginannya dengan membunuh dan menyantap
rakyatnya. Rakyat yang marah bersama-sama menghujat dan bersumpah untuk
menghancurkan raja itu. Raja itu berlari ke dalam hutan dan meminta
perlindungan kepada para Raksha, satu suku yang memakan manusia, dengan
imbalan seratus pangeran. Kamashada sekarang sedang mengganas, mencari
para pangeran untuk menepati janjinya.
Boddhisatta menyadari bahwa
senjata-senjata tidak akan menaklukkan seseorang yang telah merendahkan
martabatnya sedemikian rendah dengan membunuh rakyatnya sendiri untuk
memuaskan keinginannya yang kuat pada daging manusia. Sebagai gantinya,
Beliau memutuskan untuk menyerahkan dirinya dan mencoba menundukkan
Kamashapada melalui kebajikan. Pangeran Sutasoma berjalan dengan tenang
ke arah si pemakan manusia dan berkata, “Inilah aku. Ambillah aku dan tinggalkan rakyatku yang miskin tanpa mengganggunya.”
Melihat pangeran yang tanpa pengawal dan hanya sendiri, Kamashapada
menyambar dia, dan menyampirkannya ke atas punggungnya, membawa dia ke
dalam hutan.
Kamashapada menurunkan Boddhisatta di
sarangnya di tengah-tengah gundukan mayat dan tengkorak yang pecah.
Tempat kematian yang berbau sangat busuk. Kamashapada yang duduk
bersandar mengagumi keindahan dan kelembutan Pangeran Sutasoma.
Pada saat itu Pangeran sedang
merenungkan kesempatan belajar yang hilang dengan sedih, dan
memandangnya sebagai bencana yang menimpa, karena baru saja Sang
Brahmana akan berbagi kebijaksanaan denga dirinya. Ketika mendengar
keluhan Pangeran, Kamashapada tertawa dan bertanya apakah beliau sedang
berdukkha-citta karena kehilangan kerajaannya, kekayaannya, atau
keluarganya. Kemudian Boddhisatta memberitahu dia bahwa beliau bersedih
bukan karena kekayaan atau keluarga tetapi karena kehilangan kesempatan
untuk belajar. Beliau kemudian mohon diri untuk kembali guna mendengar
kata-kata Sang Brahmana dan berjanji akan kembali ke sarang Kamashapada
tanpa pengawal.
Kamashapada tertawa dan berkata,” Apa motifmu untuk kembali lagi kesini ? Jika aku membebaskanmu, aku akan kehilangan kamu.”
Keingintahuan si pemakan manusia pun muncul. Dia telah menangkap
seratus pangeran dan dapat memenuhi janjinya seandainya dia kehilangan
pangeran ini. Dia setuju dan membebaskan Boddhisatta.
Rakyat kerajaan itu sangat
bersukha-citta ketika mereka melihat Pangeran berjalan kembali dengan
selamat dan tidak kurang suatu apa pun. Beliau mengundang Brahmana itu
dan setelah mendengar kebijaksanaannya Beliau siap kembali ke sarang
Kamashapada. Raja ketakutan dan menolak mengizinkan dia berangkat,
tetapi Pangeran bersikeras. Kemudian raja mengumpulkan tentara dan
meminta agar mereka menemani Pangeran ke dalam hutan. Namun Pangeran
menolak pengawalan dengan berkata,”Aku telah berjanji. Aku harus pergi
seorang diri tanpa pengawalan.” Diiringi air mata dan rasa keberatan
dari keluarga dan rakyatnya, Pangeran kembali ke sarang si pemakan
manusia.
Ketika Kamashapada melihat Pangeran
berjalan ke arahnya seorang diri dan tanpa pengawal dia kaget dan kagum.
Rasa ingin tahunya muncul dan dia berkata,”
Aku tidak usah repot-repot untuk membunuhmu. Kayu api pembakaran masih
menyala. Daging manusia terasa paling lezat jika dibakar diatas bara api
yang menyala-nyala. Jadi, ceritakanlah kepadaku, apa yang sangat
penting yang telah kamu pelajari dari Brahmana itu ?”
Kemudian Pangeran bertanya kepadanya, “apa guna kebijaksanaan bagi orang yang hanya percaya pada kejahatan?” Si
pemakan manusia yang marah itu kemudian mengejek Pangeran sebagai orang
yang tidak punya kebijaksanaan politis sehingga datang kembali, katanya,”Hanya seorang yang tolol yang kembali setelah diberi kebebasan.”
Namun Pangeran menghadapi komentarnya dengan mengatakan, bahwa yang
lebih penting daripada kebijaksanaan politis adalah kejujuran. “Aku telah berjanji kepadamu. Bagiku, menepati janji itu lebih penting daripada mempertahankan kerajaan.”
Kamashapada yang telah ditundukkan dan
menjadi rendah hati itu kemudian duduk di sisi Boddhisatta dan meminta
beliau untuk mengajarkan kepadanya kebijaksanaan yang telah beliau
peroleh. Boddhisatta bersedia mengajar dia, katanya,”Bahwa melalui pembebasanmu aku mendapatkan kebahagiaan dengan mendengarkan kebijaksanaan ini.” Kemudian beliau mengulangi kata-kata Brahmana itu:
“Tetapi
sekali berjumpa dengan seorang yang berkebajikan, itu sudah cukup untuk
membentuk suatu persahabatan yang abadi, jangan menunggu
pertemuan-pertemuan berikutnya. Jagalah jangan sampai diri Anda terpisah
dari orang yang berkebajikan, tetapi ikutilah dan hormatilah mereka
senantiasa. Dia yang dekat dengan mereka tidak akan gagal untuk menjadi
seperti mereka.
Orang-orang
tersebut laksana debu bunga yang memancarkan aroma wangi dari kata-kata
dan perbuatan-perbuatan mulia tanpa mengetahuinya. Telinga para raja
dengan aneka permata dan emas hilang bersama keindahan permata-permata
mereka, menjadi layu!
Sedemikian
kuat cinta dalam orang-orang saleh yang memiliki kebajikan yang tidak
pernah memudarkan kebajikan tetapi hidup untuk memberikan berkah.”
Ketika mendengar kata-kata ini, hati si pemakan manusia dipenuhi dengan kebahagiaan, dan dia mempersembahkan empat boon (anugerah) kepada Pangeran. Kemudian Boddhisatta meminta keempat boon berikut :
- Berjanji untuk hidup dalam kebenaran
- Berhenti menyakiti makhluk-makhluk hidup
- Membebaskan semua tawanan
- Tidak pernah lagi menyantap daging manusia
Sedangkan Kamashapada berkata,”Anda
dapat memiliki tiga yang pertama, tetapi yang keempat, aku tidak dapat
memberikannya. Aku tidak dapat berhenti menyantap daging manusia.
Bagaimana aku dapat menghentikan rasa itu yang karenanya aku kehilangan
kerajaanku?” Boddhisatta kemudian menerangkan bahwa jika
tidak dapat melakukan yang keempat, maka dia juga tidak dapat melakukan
tiga yang lain. Karena setelah menjanjikan sebuah boon lalu menolak
menepati janjinya, maka janji itu sendiri bukan kebenaran.
Dengan bantuan Boddhisatta, Kamashapada
menjadi seorang yang terubahkan (insyaf). Dia membebaskan seratus
pangeran dan hidup dibawah pengaruh baik Pangeran Sutasoma. Tak lama
kemudian ia kembali ke kerajaannya dan memerintah disana. Dengan
menepati janjinya untuk kembali, Boddhisatta melengkapi kebajikan dalam
kebenaran. Inilah yang beliau katakan dengan sukha-citta setelah
melengkapi kebajikan dalam kebenaran :
“Aku
menjaga janji yang aku ucapkan dan memberikan hidupku untuk
dikorbankan. Seratus prajurit siap membebaskan aku. Sesungguhnya aku
telah mencapai kesempurnaan.”
Harus dikatakan bahwa kebajikan dalam
Kebenaran adalah yang tertinggi dari sepuluh kebajikan karena ia adalah
satu kebajikan yang dijaga oleh Boddhisatta sepanjang
Kaya-Panidhana-Kala. Selama periode ini adalah mungkin seorang
Boddhisatta untuk melakukan kesalahan, karena dia masih seorang duniawi (belum mencapai tingkat kesucian apapun)
dan merupakan subjek bagi perbuatna salah. Namun, dia tidak melanggar
peraturan Kebenaran. Pencari Kebenaran, kandidat Buddha, mempertahankan
peraturan kebenaran sepanjang periode yang amat lama itu, menjadikan
Kebenaran sebagai yang paling penting di antara sepuluh kebajikan.
8. Kesempurnaan Kebulatan-Tekad ( Adhitthana-Paramita )
Kisah berikut ini diambil dari Mughapakkha Jataka.
Pada masa lampau yang jauh, kota Benares diperintah oleh seorang raja
dari kasta Mughapakkha, bernama Kasi. Sebagaimana kebiasaan pada waktu
itu, raja memiliki seorang permaisuri dan banyak selir di istananya. Tak
satu pun dari istrinya melahirkan anak. Fakta ini menimbulkan kesedihan
yang mendalam pada hati raja dan para menterinya, karena tidak ada satu
pun yang melanjutkan garis keturunan (silsilah) kerajaan.
Permaisuri Chandra, seorang ratu yang
sangat bajik dan murah hati, memutuskan bahwa dia akan melakukan banyak
perbuatan bajik dan berdoa, agar dia mendapatkan seorang anak laki-laki
sebagai akibat dari perbuatan-perbuatannya yang bajik. Dia mulai
bersungguh-sungguh melakukan perbuatan dalam kemurahan-hati, dan
belas-kasih kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan
pertolongan. Kemudian dia beraspirasi untuk mendapatkan seorang anak
laki-laki, sebagai akibat dari perbuatan-perbuatannya yang bajik itu.
Tak lama kemudian Ratu Chadra melahirkan seorang bayi laki-laki yang rupawan, yaitu Boddhisatta kita. Raja yang bersuka-cita memberi nama Pangeran itu Temiya
dan memberikan anugerah kepada ratu karena telah melahirkan bayi
laki-laki untknya. Ratu yang sangat bersuka-cita, yang berpendapat bahwa
denganmemiliki seorang anak laki-laki dia mendapatkan segala yang dia
perlukan, bertanya kepada raja apakah ia dapat memperoleh anugerahnya
pada suatu hari nanti.
Sejak balita bayi ini tampaknya berbeda
dari bayi-bayi lainnya. Dia tampaknya mengamati dan memahami semua yang
terjadi di sekelilingnya. Ayahnya yang bangga membawa anak itu
kemana-mana, dengan demikian Pangeran muda menyaksikan siksaan dari
hukuman atas empat orang yang dituduh, diyakini melakukan perampokan.
Pangeran Temiya,
sebagai orang muda menyadari bahwa suatu hari, sebagai raja, beliau
juga diharapkan menghukum orang-orang yang bersalah dengan cara ini.
Saat itu terlintas dalam ingatannya suatu kelahirannya yang lampau ;
ketika menjadi seorang raja dia sering menyiksa orang-orang yang
bersalah, hingga mengakibatkan kelahiran di alam menyedihkan dan
menjalani siksaan selama 80.000 tahun. Dia tahu bahwa dirinya tidak
ingin menjadi raja, namun sebagai satu-satunya pewaris tahta beliau
tidak melihat jalan keluar.
Merenung demikian, Pangeran memutuskan
bahwa dia harus bertindak dengan suatu cara sedemikian rupa agar tahta
tidak diberikan kepada dirinya. Pangeran mengubah tingkah-lakunya dengan
berpura-pura menjadi bisu, tuli, dan cacat-mental. Raja Kasi pun mulai
meragukan kepantasan Puteranya sebagai ahli waris. Anak ini telah
berubah. Kini , dia bukan seorang yang luar biasa cerdas dan bijaksana
seperti yang pernah dipikirkannya. Di mata raja, sekarang dia seorang
bisu yang bodoh.
Ratu memperhatikan anaknya dengan
lemah-lembut, mencurahkan seluruh cintanya kepada anak-kecil yang malang
itu, yang tidak dapat bicara maupun mendengar. Dia memandikan anak itu
dan memberinya makan, karena tampaknya Pangeran Temiya seorang anak yang
tidak dapat merawat dirinya sendiri.
Bagaimanapun juga, raja merasa malu
terhadap anaknya. Apa gunanya anak yang tidak dapat menjadi raja ini ?
Dia memanggil saisnya, Sunanda, memerintahkan untuk membawa anak itu,
yang telah berusia 16 tahun, ke kuburan. “Bunuh dia”, perintah raja yang kejam itu, “Bunuh dia dan kuburkan tubuhnya. Kemudian bawalah pulang permata kerajaan yang dia kenakan.”
Ratu Chandra hancur hatinya ketika
mendengar kata-katanya. Dengan air mata berlinang dia mengingatkan raja
akan anugerah yang dia janjikan padanya pada hari kelahiran anak mereka.”Biarkan dia hidup”, pinta sang ratu dengan memelas,”Aku akan merawat dia, mohon biarkan dia hidup”. Di tengah-tengah permohonan sang ratu, pangeran muda itu dibawa ke kuburan untuk menerima kematiannya.
Setelah menghentikan kereta di tempat
yang tepat, Sunanda mulai menggali sebuah kuburan untuk mempersiapkan
kematian Pangeran Temiya. Pangeran Temiya kemudian muncul dari tempat
duduknya dan berjalan dengan kalem ke arah Sunanda. Ketika mendengar
suara langkah-langkah kaki, Sunanda meletakkan sekopnya dan berpaling,
menatap Pangeran yang mukanya sangat cerah dan bercahaya,”Aku bukan seorang yang bisu tuli”, kata sang Pangeran,”Aku
telah melakukan cara ini, karena ayahku tidak akan setuju membiarkan
aku menempuh kehidupan suci. Inilah satu-satunya cara agar aku dapat
menolak warisan kerajaan. Ambillah pusaka-pusaka kerajaan ini dan
kembalikanlah kepada raja dan ratu. Biarlah mereka mengetahui bahwa anak
laki-laki mereka telah menempuh kehidupan suci sebagai petapa. Kemudian
bawalah mereka kembali ke lapangan di tengah hutan dimana aku akan
tinggal.”
Sebagaimana diminta, Sunanda
mengembalikan permata-permata itu dan menghibur sang ratu yang
berdukkha-citta dengan menuturkan fakta itu. Raja dan ratu mengunjungi
putra mereka yang telah berbuat dengan keyakinan dan kebulatan tekad
yang sedemikian rupa, untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang tidak
trampil (buruk), yang harus dia lakukan selaku seorang raja. Ketika
putra mereka berbicara tentang akibat-akibat dari perbuatan-perbuatan
yang salah dan berbagai ekstreem, yang telah dia jalani untuk
menghindari perbuatan yang salah, raja mengubah cara-caranya. Dia
memutuskan untuk memerintah kerajaannya dengan kebenran, dan memberi
izin kepada pangeran muda itu untuk bertahan dalam kehidupan suci.
Ketika melengkapi kebajikan dalam ketetapan hati, Boddhisatta menyatakan
:
“Bahwa
aku tidak membenci orang-tuaku , bahwa aku tidak membenci kemuliaan,
namun karena aku menjunjung tinggi Kemahatahuan, maka aku mempertahankan
tekadku yang kuat.”
9. Kesempurnaan Cinta-Kasih ( Metta-Paramita )
Kisah berikut ini diceritakan dalam Ekaraja-Jataka.
Pada masa lampau yang jauh, di kerajaan Kosala, di sana memerintah
seorang raja bernama Dabbamalla. Di istananya ada seorang menteri yang
dipercaya, karena kesalahapahaman yang lalu, sangat iri hati pada raja
tetangga bernama Ekaraja. Menteri itu merencanakan untuk menghancurkan Raja Ekaraja melalui
kelicikan dan tipuan. Perlahan-lahan dia mulai meracuni pikiran Raja
Dabbamala dengan menyebarkan berita yang salah tentang Raja Ekaraja. Tak lama kemudian Raja Dabbamala percaya bahwa Raja Ekaraja
adalah seorang raja yang serakah dan zalim (bengis), yang bermaksud
mengambil alih kerajaannya. Raja Dabbamala mengumpulkan seluruh
tentaranya untuk menghancurkan Raja Ekaraja dan merebut kerajaannya.
Boddhisatta, yang lahir sebagai Raja Ekaraja,
adalah seorang raja yang lemah lembut dan jujur yang memerintah
kerajaannya dengan cinta-kasih, keadilan dan belas-kasih ; dia sering
menggunakan waktu luangnya di tengah hutan untuk bermeditasi. Sebagai
hasilnya, beliau telah mencapai tingkat-tingkat spiritual yang lebih
tinggi, yang dikenal sebagai Jhana-Jhana. Orang-orang dalam kerajaan-Nya
adalah orang-orang yang sangat bahagia dan lembut, mereka benar-benar
tidak siap untuk bertempur. Karena itu dengan sangat mudah Raja
Dabbamala menaklukkan kerajaan itu dan menangkap Raja Ekaraja.
Dengan kemarahan dan kebencian di dalam hatinya akibat tuduhan palsu dari menterinya, Raja Dabbamala mengikat kaki dan tangan Raja Ekaraja
dan menggantung beliau dengan kakinya di pohon, dimana dia meninggalkan
Beliau untuk mengalami suatu kematian yang perlahan dan menyakitkan.
Hari berikutnya dia kembali untuk melihat dan menyaksikan momen-momen
terakhir kematian Raja Ekaraja.
Raja berharap menemukan Raja Ekaraja
yang ditaklukkan dan disiksa itu memohon belas-kasihan. Sebaliknya, dia
menemukan seorang Raja yang tenang dan damai dalam meditasi yang dalam.
Raja Ekaraja sedang
bermeditasi beberapa kaki diatas tanah dan memancarkan kedamaian
danketenangan. Raja Dabbamalla terkejut lantas bertanya kepada Raja
Ekaraja tentang bagaimana Beliau keluar dari keadaan itu. Raja Ekaraja
kemudian menjelaskan kepadanya kebajikan-kebajikan dalam cinta-kasih dan
belas-kasih, dan bagaimana beliau sering tinggal di hutan dan
bermediasi di antara binatang-binatang buas yang tidak pernah mengganggu
beliau karena belas-kasih yang beliau pancarkan. Ketika mendengar
kebenaran itu, Raja Dabbamalla mengembalikan Raja Ekaraja ke istananya
dan meminta maaf. Dia kemudian menjatuhkan hukuman berat kepada
menterinya atas kelicikannya itu.
Dengan mempraktikkan belas-kasih kepada
semua makhluk hidup dengan sepenuh hati, Raja Ekaraja , Sang
Boddhisatta, melengkapi kebajikan dalam belas-kasih. Setelah melengkapi
kebajikan dalam belas kasih ini, Beliau berseru dengan sukkha-citta :
“Tidak
ada ketakutan yang orang miliki terhadap aku, Aku pun tidak takut pada
siapa pun. Dengan kemauanku yang baik kepada semua makhluk, aku percaya
pada hutan-hutan sunyi dan suka tinggal disana.”
10. Kesempurnaan Keseimbangan-Batin ( Upekkha-Paramita )
Kisah berikut ini diceritakan di dalam Lomahangsa Jataka.
Selama Kaya-Panidhana-Kala, Boddhisatta kita yang masih seorang duniawi
melakukan banyak perbuatan yang tidak terampil yang mana dua belas
diantaranya berakibat cukup serius, bahkan dialami setelah beliau
menjadi Buddha. Empat diantaranya berkenaan dengan penghinaan kepada
seorang Pacceka-Buddha.
Boddhisatta, yang berjuang mencapai
kesempurnaan dan tingkat Buddha, telah merendahkan atau menghina
Pacceka-Buddha karena iri-hati.Teks itu tidak secara khusus dihubungkan
dengan keempat insiden tersebut. Namun sebagai akibat dari salah satu
perbuatan yang tidak terampil ini Boddhisatta kita dilahirkan sebagai
seorang asketik (petapa) yang mempraktikkan bentuk asketisme
yang ekstrim. Para asketik dari sekte tidur di kuburan-kuburan di antara
tulang-belulang dan tengkorak-tengkorak dari tubuh orang mati, yang
telah ditinggalkan hingga membusuk, dan hampir tidak mengenakan pakaian.
Boddhisatta, yang selama periode ini percaya pada bentuk asketisme
(petapaan) ekstrim ini, mempraktikkan kepercayaan tersebut sepenuhnya
sehingga para pengikut sekte ini memuji Beliau dan menghormatinya karena
ketekunan dan dedikasinya. Banyak orang yang tidak percaya pada bentuk
petapaan ekstrem ini mengejek beliau karena praktik pertapaannya ini.
Sepanjang periode ini,Boddhisata yang
mencoba menyempurnakan kebajikan dalam keseimbangan batin,
mempertahankan sebuah pikiran yang seimbang dengan tidak bereaksi
terhadap pujian maupun celaan yang beliau terima setiap hari. Dengan
keseimbangan batin itu, Beliau mengamati berbagai sensasi yang muncul di
dalam dirinya ketika Beliau dipuji, dan meredakan reaksi dari keinginan
atau keterikatan pada sensasi yang menyenangkan, dengan merenungkan
ketidakabadian. Dengan cara yang sama, dengan keseimbangan batin, Beliau
mengamati sensasi-sensasi yang muncul ketika beliau diejek dan dihina,
dan meredakan aversi (rasa tidak suka) dan repulsi (rasa-jijik) pada
sensasi yang tidak menyenangkan dengan merenungkan ketidakabadian.
Dengan berbuat demikian, Boddhisatta yang telah mempraktikkan
keseimbangan batin selama sekian banyak kelahiran yang lampau, mencapai
kesempurnaan dalam keseimbangan batin dan menyatakan demikian :
“Aku
telah menempatkan diriku di antara orang mati, kubuat tulang-tulang
mereka sebagai bantal, sementara orang-orang berdatangan, sebagian
mengejek, dan sebagian memuji.”
Kemudian Boddhisatta menyadari, bahwa
bentuk pertapaan ini tidak kondusif bagi usahanya untuk mencapai
Pencerahan-Sempurna. Dia meninggalkan sekte ini dan menjalani asketisme
yang dipraktikkan oleh sekte-sekte yang lebih moderat, dimana meditasi
dan perkembangan spiritual merupakan tujuannya.
_______________________________________________
Dengan melengkapi kesempurnaan dalam kemurahan-hati ( Dana-Paramita ) dalam kelahirannya sebagai Pangeran Wessantara ( baca kisah Pangeran Wessantara ini pada point no.1 “Kesempurnaan Kemurahan-Hati (Dana-Paramita)” diatas ) , Boddhisatta kita melengkapi kesepuluh kesempurnaan.
Setelah wafatnya Pangeran Wessantara, Ia dilahirkan di Surga TusitaDewa Setaketu sebagai dewa bernama . Dan disanalah beliau tinggal hingga saat yang tepat untuk kelahirannya yang terakhir sebagai Buddha Gotama.
Nah, saudara-saudari se-Dhamma, marilah
kita meneladani perjuangan Boddhisatta kita dalam memenuhi kesepuluh
kesempurnaan selama Empat Asankkheyya-Kappa + 100.000 Maha-Kappa sebelum
kelak dilahirkan menjadi Pangeran Siddhatta-Gotama dan akhirnya menjadi
Buddha.
Kesempurnaan seorang Buddha adalah tiada
bandingnya. Dibawah ini, ada tiga bait syair yang diucapkan oleh Suruci
Sang Petapa yang kelak menjadi Yang-Mulia Sariputta sebagai
penghormatan kepada Buddha-Anomadassi.
“Sakkā samudde udakam, Pametum ālhakena vā, Na tveva tava sabbaññu, Ñāņam sakkā pametave”
[ Adalah mungkin untuk mengukur
banyaknya air di samudera besar menggunakan alat ukur; tetapi o Buddha,
tak seorang pun apakah dewa atau manusia yang dapat mengukur dalamnya
kebijaksanaan yang dimiliki oleh Yang-Teragung ]
“ Dhāretum pathavim sakkā thapetva tulamandale, Na tveva tava sabbaññu Ñāņam sakkā dharetave “
[ Adalah mungkin mengukur beratnya
bumi ini dengan timbangan; tetapi, O Buddha, tak seorang pun apakah dewa
atau manusia yang dapat mengukur dalamnya kebijaksanaan yang dimiliki
oleh Yang Teragung ]
“Ākāso minitum sakkā rajjuyā angulena vā, Na tveva tava sabbaññu Ñāņam sakkā pametave”
jika anda ingin melihat nama" buddha Klik Aj Ini.
jika anda ingin melihat nama" buddha Klik Aj Ini.
0 komentar:
:k1 :k2 :k3 :k4 :k5 :k6 :k7 :k8 :k9 :a1 :a2 :a3 :a4 :a5 :a6 :a7 :a8 :a9 .
Posting Komentar